Thursday, September 11, 2008

Di Balik Sehelai Jilbab

Di Balik Sehelai Jilbab

Siang itu aku duduk di bagian bawah rangang besi tingkat tempat tidurku. Kusentuh-sentuh rambutku yang tidak ditutupi oleh kerudung. Tiba-tiba seorang teman sekamarku membuka pintu seraya berkata, "Buka ah pintunya, pengap."

Saat itu aku tinggal di sebuah kamar yang nyaris tak berpentilasi. Kamar itu tidak memiliki jendela yang dapat dibuka. Satu-satunya cara untuk mendapatkan udara segar di kamar itu adalah dengan membuka pintunya.

Aku mafhum dengan keadaan kamar sempit itu. Kami berenam yang tinggal di sana membutuhkan hawa segar untuk di hirup. Aku tidak boleh melarang teman-teman untuk membuka pintu demi kepentinganku sendiri.

Sebagai seorang muslimah yang mencoba untuk mentaati perintah Allah, aku harus menutup auratku dimana pun berada. Hal ini berimplikasi pada keharusan untuk mengenakan jilbab dimanapun dan kapan pun ada lelaki yang bukan muhrim yang berkemungkinan untuk melihat auratku. Aku tinggal di sebuah asrama yang anak lelaki dan anak perempuan tinggal dalam satu rumah, hanya kamarnya yang berbeda. Pembimbing di asrama itu pun ada dua orang, seorang bapak dan seorang ibu. Tentu saja kondisi ini membuat kesempatanku untuk melepas jilbab hanya bila di dalam kamar, itu pun bila pintu kamar tertutup rapat. Dengan terpaksa kuraih dan kukenakan jilbabku. Aku tak ingin terlibad perdebatan panjang dengan teman-teman sekamar hanya masalah buka tutup pintu.

Peristiwa semacam yang terjadi siang itu tak jarang terjadi. Sering kali ketika malam hari aku sudah bersiap-siap untuk tidur pada pukul 20, sedang teman-teman sekamarku yang punya hobby bergadang tentu saja tak akan tidur secepat itu. Mereka membuka pintu selebar-lebarnya. Karena itu, aku terpaksa tidur dalam keadaan memakai jilbab.

Terkadang aku bertanya-tanya dalam hati, "Untuk apa kewajiban semacam ini dibebankan kepada wanita muslimah? Pertanyaan itu terus bersemayam dalam fikiranku. Aku terus-menerus mencari jawaban dari pertanyaan itu, namun semakin kucari jawabannya, jawaban itu sungguh semakin jauh. Beberapa orang yang kuanggap mengerti agama aku tanyai dan cara mereka menjawab sungguh beranekaragam. Inti dari jawaban mereka adalah bahwa memakai jilbab sangat banyak hikmahnya. Jilbab adalah busana yang sopan dan tidak merangsang maksiat. Agar laki-laki tidak mengganggu, perempuan muslimah mesti menutupi auratnya. Entah pikiranku yang terlalu kritis, imanku yang minim, atau hatiku yang mati; jawaban selogis itu pun masih ditampik oleh hatiku. Apa salahnya menampakkan rambut?Selama busana yang dipergunakan masih sopan apa yang salah dengan pakayan? Urusan diganggu oleh lalaki jahil, berjilbab atau tidak mereka pun bisa mengganggu,. Pernah suatu hari ketika aku berjalan kaki ke sekolah aku bertemu dengan seorang lelaki yang mencolek pantatku; dan pernah pula bagian dadaku di raba tanpa kesopanan padahal saat itu aku mengenakan jilbab ukuran besar.

Suatu hari aku bertanya tentang siapakah Tuhan dan mengapa ia memberi segenap kewajiban terhadap hambanya. Aku tanyakan pula cara mencari jawaban tentang pertanyaan mendalam yang menyangkut alasan diwaajibkannya sesuatu perintah atau adanya suatu larangan serta yang berkaitan dengan keyakinan. Atas pertanyaan semacam itu aku memperoleh tanggapan yang dapat disimpulkan:
1. Jangan pernah tanyakan tentang zat Tuhan karena kamu tak akan pernah mendapatkan jawaban tentang hal itu. Bukankah pertanyaan yang menyangkut apa yang Tuhan ciptakan pun tak seluruhnya dapat kau temukan jawabannya sepanjang hidupmu?
2. Pertanyaan yang boleh ditanyakan hanya menyankgut hukum-hukum Tuhan, apa yang diperintahkan dan apa yang dilarangnya, serta bagaimana berprilaku sesuai dengan kehendak-Nya. Masalah alasan, jangan pernah tanyakan itu. tumbuhkanlah keyakinan sejati kepada tuhan, dan jangan ragu akan hal itu.

Kutiti kehidupan keberagamaanku dengan berbekal kedua kesimpulan dari jawaban itu. Aku paksakan diri meskipun belum ada kerelaan dalam hati. Saat kutemukan rambutku mulai memanjang, terbersit keinginan dalam hatiku untuk menanggalkan jilbab. Dengan segera aku mengambil keputusan untuk membabat habis rambutku. Kulakukan itu agar kalau aku botak, aku akan malu pergi kemanapun tanpa jilbab. Pekerjaan menggundul rambut pernah kulakukan dua kali saat keinginan untuk membuka jilbab teramat kuat.

Kujalani hidupku dengan terus berusaha meningkatkan kualitas ketaatan kepada Tuhan. Saat aku lulus SMA dan harus keluar dari asrama, aku memilih kosr yang tidak bebas. Tempat yang di sana banyak orang memiliki kontrol sosial tinggi. Aku mulai selektif memilih apa yang kukatakan. Maksudnya, aku mulai menjaga diri dari kata-kata yang tidak bermanfaat. Selain itu aku pun mulai selektif dalam memilih lagu yang aku dengar. Pada puncaknya, aku mulai belajar untuk memakai kaos kaki kemanapun berjalan. Hasilnya, aku semakin merasa tak nyaman dengan kondisi yang aku jalani.

Hari-hari yang kulalui datang silih berganti sementara kejenuhanb kian hari kian menjadi. Pandangan orang lain tentangku semakin positif. Dari beberapa orang yang kuketahui penilayannya tentangku, mereka menganggapku sebagai seorang perempuan yang solehah dan taat beragama. Seiring dengan pandangan positif itu, aku pun semakin kaku kala bercakap-cakap dengan orang lain.

Keadaan yang kujalani semakin membebaniku. Orang-orang menilaiku salah. Penilayan mereka terlalu baik untuk seorang Fathie yang sarat keburukan. Aku tidak menginginkan itu. Aku ingin siapa pun menilaiku apa adanya. kalau aku tak baik, jangan pernah anggap aku baik dan begitu pula sebaliknya. Tak ingin aku dikatakan taat padahal begitu banyak pelanggaran yang kulakukan.

Ada Yang menilai bahwa aku memiliki iman yang kuat. Menurut mereka keimananku tak akan tergoyahkan lagi.

Sebenarnya tidak begitu. Aku tak memiliki pemikiran yang sama dengan para aktifis tunanetra islam yang kujumpai. Aku merasa tak nyaman bertukar pikiran dengan mereka. Bercerita tentang permasalahan pada mereka pun aku tak suka. Aku merasa lebih nyaman bercakap-cakap dengan orang yang berpaham cukup sekuler.

Dalam pikiranku bersemayam banyak pertentangan antara nalar, iman, dan pembiasaan. Aku memaksaan diri untuk berprilaku layaknya orang yang taat meski dalam hatiku tidaklah bersemayam iman yang kuat. Sejak kecil aku dibiasakan oleh ayah untuk terus beribadah tetapi pembiasaan itu tidak menapak dalam kehidupanku. Justru aku tetap merasa terpaksa menjalani kehidupan keberagamaan ini.

Aku tidak mau bersembunyi di balik topeng bernama jilbab. Ingin aku menampilkan diri sebagaimana adanya. Aku ingin agar orang menilaiku sesuai dengan yang sebenarnya. Jenuh aku dengan topeng yang aku kenakan. Aku ingin membukanya.

Sebelum aku menanggalkan jilbabku, ada beberapa hal yang masih menjadi pertimbanganku. Bagaimana reaksi orang-orang andai kata mereka melihat perubahan pada penampilanku. Aku membutuhkan mereka. Bagaimana kalau mereka menjauhiku dan pergi meninggalkanku. Sahabatku mengatakan jika hanya dengan bercerita sedikit tentang kulit permasalahan mengenai konplik nalar, iman, dan pembiasaan saja mereka sudah pergi meninggalkan aku, lebih-lebih apa bila aku sudah benar-benar menanggalkan jilbabku.

Dalam beberapa hari aku berpikir. Apabila aku memakai jilbab hanya karena takut dijauhi oleh orang lain, tentulah hal itu benar-benar percuma. Masih untung kalau aku merasa nyaman dengan pakayan tersebut, tapi ini benar-benar membuatku merasa tak nyaman. Bukankah pelaksanaan ibadah harus disertai dengan keyakinan dan keikhlasan? Bukankah beribadah tanpa tujuan adalah kerugian besar? Bukankah akan menjadi hal yang percuma apabila suatu ibadah dilakukan tanpa keikhlasan? Andai kata hari pertanggungjawaban itu nanti ada, salah satu pertanyaan Tuhan padaku tentulah, "Mengapa kamu mengenakan jilbab?" Bagaimana kalau jawabanku adalah takut dijauhi oleh orang-orang yang aku membutuhkan mereka dan aku khawatir kalau-kalau mereka tak membantuku lagi. Kalau memang hari pertanggungjawaban itu ada, tentulah jawaban semacam itu adalah jawaban yang sangat dibenci Tuhan. Bukankah Tuhan akan murka atas jawabanku? Bukankah seharusnya pelaksanaan ibadah mesti disertai niat yang ikhlas karena-Nya?

Aku tak mau melakukan hal yang percuma. Kalau aku mengenakan jilbab dengan keterpaksaan itu adalah suatu dosa. Jika aku tak mengenakan jilbab dengan senang hati, itu pun suatu dosa. Keduanya dosa dan aku akan memilih dosa yang manis. Untuk apa aku bersusah-susah kalau memang itu untuk pekerjaan yang bernilai dosa. Mungkin hukuman yang akan diterima atas dosa-dosa baik yang manis maupun yang pahit akan sama saja. Entahlah, itupun kalau dosa dan hukuman tersebut benar-benar ada.

Di satu pagi yang cerah, tepatnya tanggal 12 Mart 2008, aku menemukan kemantapan dalam keputusanku. Kutanggalkan jilbabku hari itu. Aku kembali pada prinsip hidup yang sudah lama kutinggalkan. Aku tak mau berbuat tanpa keihlasan. Kalau aku tak jua ikhlas memakai jilbab, percuma saja aku melakukannya. Menanggalkannya itu lebih baik bagiku. Mungkin nanti bila aku telah menemukan keyakinan jilbab itu akan kukenakan lagi.

3 Comments:

At November 24, 2008 at 3:54 PM , Anonymous Anonymous said...

hei leh knal g email mu apa. email ke ini ya imutaja23@gmail.com

 
At December 17, 2009 at 2:36 AM , Anonymous Anonymous said...

Tuhan berhak untuk ditaati hambaNya, perintahnya selalu terkait salah satu dari dua hal. 1. kepentingan Tuhan. 2. kepentingan makhluk. Perintah berjilbab merupakan kepentingan Tuhan untuk mendapatkan bukti apakah seorang hamba taat atau ingkar. ketaatan tak menambah KeagunganNya, kedurhakaan tak menjadikanNya kerdil. maka tak bijak untuk memaksakan diri memakai jilbab bila menjadikan kita sakit, sebab Tuhan tidak membebani kecuali sesuai kemampuan hamba. maka relakah seorang hamba menjalankan perintah kecil setelah mendapat anugerah besar kehidupan? (pengagum karya indahmu yg sangat mengharap persahabatan) aul_settinger@yahoo.co.id

 
At August 26, 2014 at 9:22 PM , Anonymous Gamis Baru said...

harus berjuang untuk menambah ketaatan
:-)

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home