Wednesday, October 29, 2008

Peristiwa Kecil Berhikmah Besar

Peristiwa Kecil Berhikmah Besar

Aku pernah mengalami sebuah peristiwa kecil di mana peristiwa tersebut memiliki hikmah yang besar. Hikmah itu dapat mengubah pandanganku tentang ketunanetraan yang kusandang. Peristiwa tersebut terjadi sekitar 5 tahun yang lalu. Waktu itu aku masih duduk di kelas 2 SMU.

Jarak antara rumah dan sekolahku kurang lebih 2 kilo meter. Aku sering kali menempuh jarak itu dengan brjalan kaki.

Suatu hari ketika aku pulang sekolah, seperti biasanya aku harus menyeberangi jalan Asia Afrika. Saat aku berdiri di tepi jalan, terdengar suara seorang bapak berkata dalam bahasa sunda "Sareung jang jeung nu eta!" yang artinya bahwa bapak itu menyuruh seorang untuk menyeberang bersamaku.

Kurasakan sebuah tangan menuntun tanganku. Ia membawaku untuk menyeberang. Sesampainya di seberang, aku ingin mengucapkan terimakasih kepada orang itu, namun ia tidak melepaskan tangannya atas tanganku. Ia mengajakku untuk berjalan bersama menelusuri terotoar panjang di depan pertokoan sekitar pasar baru.

Aku tidak menolak ajakannya karena perjalanan kami memang searah. Beberapa langkah setelah kami menaiki terotoar dan menyelinap diantara barisan pedagang kaki lima, ia berkata dengan terbata-bata "Na-ma....i-tang." Rupanya ia memperkenalkan namanya. Itulah persepsiku tentang namanya. Aku beranggapan bahwa namanya Itang. Dari cara bicaranya, langsunglah aku mengetahui bahwa Itang yang berjalan bersamaku adalah seorang tuna rungu wicara. Aku segera mengawab dengan memperkenalkan juga namaku dengan perlahan "Fatmawati" sambil berjabat tangan dengannya.

Kami terus berjalan dan kemudian Itang mengajakku masuk ke sebuah toko. Tampaknya ia ingin membeli sesuatu. Dipilihnya barang yang dimaksudkannya. Tiba-tiba pelayang toko bertanya kepada Itang "Buat siapa?" Itang menjawab, "Buat adik." "Adiknya berapa tahun?", tanya pelayan toko itu lagi.

Itang bingung. tidak mengerti dengan pertanyaan pelayan toko tersebut. Ia segera mengajakku pergi meninggalkan toko itu.

Hari itu Itang mengantarku ke rumah. Di jalan sebelum sampai ke rumahku, Itang meminta agar aku menuliskan nomer teleponku di bukunya. Aku menjelaskan padanya bahwa aku tidak dapat menulis sebagaimana ia . Aku melafalkan perlahan nomer telepon rumahku dan mengeja speling namaku. Dalam obrolan sepanjang perjalanan pulang itu aku baru menyimak lebih jelas bahwa nama lelaki remaja yang berjalan bersamaku itu bukan Itang melainkan Bintang.

Sesampai di rumah aku merenungkan peristiwa perkenalanku dengan Bintang. Peristiwa itu sederhana. Sekilas tampak tak ada yang menarik. Namun bila kurenungkan, perkenalanku dengan remaja tunarungu itu sungguh merupakan peristiwa sarat hikmah.

Sejak SLTP, aku selalu menyesali keadaan diriku sebagai seorang tunanetra. Penyesalan tersebut tumbuh karena aku merasa bahwa ketunanetraanku merupakan hambatan bagiku untuk mewujudkan impianku memperdalam Fisika dan matematika. Andai kata aku dapat melihat, tentulah aku tidak akan mengalami hambatan dalam mempelajari kedua mata pelajaran paforitku tersebut. Sering kali aku melancarkan protes kecil kepada Tuhan; mengapa aku diciptakan sebagai tunanetra. Andai kata aku hanya seorang tunawicara namun dapat melihat dan mendengar aku akan dapat memperdalam penguasaanku dalam kedua mata pelajaran tersebut.

Sejak pertemuanku dengan Bintang, aku menyadari bahwa kemampuan berkomunikasi sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Kepandayan seseorang tak akan berarti banyak apabila orang yang pandai tersebut tak dapat mengkomunikasikan kepandayannya kepada orang lain. Bayangkan, Bintang yang sudah tergolong lancar dalam berkomunikasi, masih mengalami hambatan dalam memahami pertanyaan padahal pertanyaan tersebut cukup sederhana. Pertanyaan pelayahn toko yang berbunyi "Adiknya berapa tahun?" merupakan pertanyaan sederhana namun Bintang yang saat itu duduk di kelas 3 SLTP belum bisa mengerti.

Kalau saja aku benar-benar tunawicara, sudah barang tentu aku mengalami banyak hambatan untuk mempelajari kedua mata pelajaran paforitku tersebut. Sudah bisa dipastikan bahwa aku menghadapi hambatan dalam interaksi dan komunikasi. Dengan hambatan komunikasi tersebut, tentulah tidak mudah bagiku untuk mewujudkan impianku.

Sejak saat itu, aku belajar menerima diriku apa adanya. Tuhan sudah menciptaku sebagai tunanetra adalah cacat terbaik yang disandangkan-Nya padaku. Tuhan sudah pasti memberikan perangkat kesanggupan padaku untuk menjalani hidup dalam ketunanetraan.

Terimakasih, Tuhan atas kesempatan yang Kau berikan padaku untuk memahami salah satu hikmah dibalik penciptaanmu dengan mempertemukan aku dengan Bintang.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home